“ Sekarang tidak harus belajar lama untuk kemudian sukses. Yang penting kita konsisten berekspresi dengan apa yang kita sukai dalam media sosial “ Raditya Dika
Di zaman serba digital seperti sekarang, siapa anak muda yang tidak mengenal istilah internet, smartphone, ataupun piranti teknologi modern lainnya? Jika kalian adalah salah satu diantaranya, bisa jadi kalian adalah anak muda yang hidup di dalam peradaban digital, namun dibelenggu oleh dogma tradisional.
Kemudahan akses dan harga perangkat elektronik yang semakin terjangkau membuat semua kalangan mampu menjangkaunya, tak terkecuali anak muda. Smartphone yang dianggap sebagai barang mewah, kini sebagian kalangan justru menganggapnya sebagai barang wajib. Tak perlu khawatir dengan harga, cukup dengan merogoh kocek sebesar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, smartphone sudah berada di genggaman mereka.
Menjamurnya penggunaan media komunikasi digital tentu memberikan dampak bagi perkembangan pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Selain itu, penggunaannya sedikit – demi sedikit mengubah pandangan masyarakat bahwa media tersebut tak hanya sebatas piranti komunikasi, melainkan juga sarana bisnis, dan pusat informasi. Siapa yang tidak mengenal Kaskus yang awalnya diciptakan oleh Andrew Darwis untuk tugas kuliahnya di Seattle, Amerika Serikat? Berkat ketekunan dan kesabarannya, Kaskuspun bertransformasi menjadi situs nomor satu di Indonesia. Bukan hanya sebagai forum jual beli dan komunitas biasa, namun Kaskus sudah menjadi portal berita ter-update. Kabarnya, kesuksesan inilah membuat Google ingin membelinya sebesar USD 50 juta atau setara dengan Rp 475 miliar.
Saya memang bukan seorang penulis profesional, ataupun pengarang buku hebat. Blackberry pun juga tidak punya. Namun, saya sadar bila saya mampu menggunakan teknologi dengan benar, misalnya internet, banyak hal positif yang akan saya dapatkan seperti halnya apa yang telah didapatkan oleh bloger sekaligus pengarang buku ‘Kambing Jantan’, Raditya Dika dan penulis buku ‘Notes from Qatar’, Muhammad Assad, ataupun Kaskus’ founder, Andrew Darwis.
Menurut saya figur yang telah saya sebutkan adalah orang – orang hebat. Orang- orang biasa yang menjadi hebat karena kecerdasan mereka mampu menggunakan media sosial dengan bijak. Mereka juga mampu menangkap peluang di balik penggunaan media tersebut. Tak berlebihan rasanya kalau ketiganya patut dijadikan sebagai inspirator bagi remaja Indonesia agar lebih cerdas dalam menggunakannya. Apa yang mereka lakukan sangat sederhana, yaitu menulis.
Mereka membuktikan bahwa penggunaan media sosial yang tepat, mampu memberikan nilai tersendiri bagi penggunanya. Bahkan ketiganya secara tak sadar menemukan jati diri dan passion melalui media sosial. Luar biasa! Mereka menuangkan ide melalui tulisan yang kemudian semua orang di belahan dunia membacanya. Bahkan, tak sedikit yang ‘tersihir’ oleh kisah – kisah kocak dan inspiratif dari seorang Raditya Dika dan Muhammad Assad. Melalui Kaskus pula dipopulerkan istilah pertamax dan agan, yang kini sering pula digunakan dalam bahasa sehari – hari.
Lantas bagaimana dengan kita sebagai generasi muda? Pertanyaannya, apa yang sudah bisa kita hasilkan dari Blackberry, laptop, ataupun iPad yang kita gunakan selama ini? Sudahkah kita berkarya dan dan bijak menggunakannya? Ataukah justru kita terlena dan dikendalikan olehnya?
Tak banyak dari kita yang sadar bahwa sudah terlalu lama menghabiskan waktu di depan komputer dan internet ataupun telepon pintar tanpa manfaat yang jelas. Sebagian dari kita justru asyik menjadi facebook atau twitter stalker (pengamat status teman, pacar, dan lain – lain) daripada membentuk status diri dengan menuangkannya di jejaring sosial. Saatnya kita sebagai generasi muda mulai berbenah dan introspeksi agar lebih bijak dalam menggunakan teknologi. Yakinlah bahwa masing – masing dari kita memiliki potensi untuk memanfaatkan social media dalam berkarya. Jika menulis bukanlah hobi atau kesenangan, desain web atau membuat aplikasi software bisa menjadi alternatif. Bagi teman – teman yang gemar bermain musik, bisa jadi suatu saat nanti kalian akan menjadi ‘the next Steve Jobs’ karena berhasil menemukan pengganti iTunes. Ingatlah, setiap orang memiliki jalan sukses yang berbeda, tergantung bagaimana effort kita untuk mendapatkannya dan belajarlah dari kisah – kisah orang besar.
Raditya Dika yang dikenal sebagai penulis buku komedi yang laris menjelaskan bahwa awal kesuksesannya berawal dari kebiasaanya ngeblog. Empat buku yang sudah ditulisnya adalah contoh dari konsistensinya dalam berekspresi melalui blog. Tentu tak hanya kepuasaan batin yang sekarang dia rasakan. Keuntungan finansial yang cukup besar pun juga tak terelakkan. Akankah kita sebagai generasi muda diam begitu saja melihat kesuksesan Andrew Darwis dan Raditya Dika?
Lain lagi cerita dari Muhammad Assad. Tak banyak yang mengenal lulusan Universitas Teknologi Petronas, Malaysia ini. Pemuda 24 tahun ini menyandang predikat ‘Rector’s Gold Award’, ‘The Best International Student Award’, dan ‘Chancellor Award’, yang merupakan penghargaan tertinggi dari universitas serta diberikan langsung oleh Mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad saat kelulusan. Tak hanya kutu buku, Assad juga memiliki sisi lain dari dirinya.
Sekedar informasi, menulis adalah salah satu hobi Assad, selain bermain basket, bermusik dan traveling. Baginya, menulis adalah salah satu cara dan media paling efektif untuk menyampaikan gagasan serta pendapat kepada orang lain. Untuk menyalurkan hobi menulisnya Assad membuat Blog Notes From Qatar. Blog tersebut sudah dikunjungi lebih dari 150 ribu orang dalam waktu kurang lebih setahun. Lagi – lagi karena tulisannya, dia berhasil menyita perhatian.
Blog itu pun akhirnya dijadikan buku setelah banyak saran dan permintaan dari teman-teman serta para pembaca. Selain menulis di blog yang berisi tentang pengalaman pribadi selama berada di Qatar, Assad juga produktif dalam menulis tentang masalah kepemudaan. Tulisan-tulisannya yang berisi ide serta gagasan tentang bagaimana membentuk dan membangun generasi muda Indonesia cukup sering dimuat oleh beberapa media cetak nasional serta media di internet. Bagaimana dengan teman – teman? Masihkah kita akan diam dan terperangah melihat kesuksesan mereka?
Ketiganya telah membuktikan bahwa media sosial ibaratnya adalah sebuah pedang. Jika kita sebagai generasi muda mampu menggunakannya dengan benar, maka keuntungan yang akan kita dapatkan. Namun jika tak mampu mengendalikannya, bukan tidak mungkin kita yang justru akan dirugikan.
Nah, sudahkah kita mengambil hikmah dari cerita di atas? Rasanya tidak sulit untuk menjadi seorang yang bijak dalam menggunakan social media. Apa yang sudah dicontohkan oleh Andrew, Raditya dan Assad cukup mudah dan tidak berat, menulis.
Permasalahnnya, seberapa besar konsistensi kita dalam menulis itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Raditya mengatakan bahwa untuk sukses tidak dibutuhkan proses yang lama untuk belajar, yang terpenting adalah konsistensi dalam berkespresi melalui media sosial.
Menggunakan media sosial secara bijak artinya dapat menggunakan media ini untuk mendapatkan keuntungan yang banyak untuk mencapai sukses. Get to know who you are and find your excellence within social media, folks!