Kunjungan ke Washington State History Museum, Rabu 24 April, bersama keempat teman saya yang berasal dari India, Ghana, Rusia, dan Indonesia serta dua orang volunteer dari program YES/FLEX (Youth Exchange and Study / Future Leader EXchange) bisa dibilang sebagai salah satu agenda AFS-USA untuk memperkenalkan sejarah di kawasan Washington State. Musium yang terletak di jantung kota Tacoma berdiri kokoh tepat di depan University of Washington menjadi tujuan tur singkat kami selama sehari.
Untuk masuk ke dalam musium, kami diharuskan untuk membayar tiket sebesar $6 atau sekitar Rp 55.000,00. Cukup terjangkau dan tentunya berharga jika dibandingkan dengan koleksi dan fasilitas yang dimiliki. Beragam koleksi mulai dari lukisan, artifak, benda-benda kuno, dan diorama tertata rapi dan memikat mata. Jika anda bukan seorang yang gemar membaca, ada pilihan pula untuk masuk ke dalam bioskop yang memutar beberapa dokumentasi tentang State of Washington. Tak lupa beberapa komputer sebagai alat bantu pencari informasi juga disediakan yang tentunya sudah dilengkapi dengan koneksi internet. Jika anda gemar berbelanja, tak ada salahnya untuk mengunjungi museum store yang berada di dekat pintu masuk utama.
Tak seperti Musium Airlangga yang lebih bertema tentang budaya dan sejarah di Kediri, musium ini lebih menggabungkan konsep sejarah, pariwisata, bisnis, dan teknologi. Misalnya di salah satu sudut galeri terdapat diorama Boeing dan kota Seattle. Seattle dikenal sebagai pusat bisnis, tujuan favorit turis dan dikenal popularitasnya sebagai produsen dan distributor Boeing di seluruh dunia. Tak hanya itu, jika anda adalah seorang pecinta kopi, salah satu rumah kopi terbaik, Starbucks, pertama kali dibangun di kota ini pada tahun 1918. Sampai sekarang rumah kopi pertama Starbucks pertama di dunia masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu tempat favorit di Seattle. Inilah yang menjadi salah satu contoh konsep modern musium di sini.
Di salah satu sudut musium, saya terpikat oleh salah satu diorama yang mengantung beberapa jemuran baju dan sebuah gubuk tua berdiri di belakang jemuran. Jujur baru kali ini setelah delapan bulan saya melihat ada jemuran baju di Amerika walaupun hanya sebuah diorama. Setelah saya membaca informasi yang ada, ratusan tahun lalu sebelum negeri super power berdiri, beberapa bagian Amerika pernah dilanda kemiskinan dan krisis keuangan yang berdampak pada cara hidup masyarakatnya. Sekarang mereka tak lagi menjemur baju seperti apa yang mereka lakukan dulu, kemajuan teknologi dan peradaban manusia di sini membuat segalanya mudah.
Empat jam berjalan begitu cepat. Tepat jam dua siang, kami bergegas kembali ke rumah masing-masing dan keesokan harinya kembali menjalankan rutinitas di sekolah.
No comments:
Post a Comment